Analis

MAL PRAKTEK MEDIK

Oleh : Rahadi Agus Prihanto,SH


BAB I

Pendahuluan

Profesi kedokteran merupakan salah satu profesi yang penuh dengan resiko, kadang-kadang dalam mengobati penderita dapat menimbulkan cedera atau cacat bahkan sampai dengan kematian sebagai akibat dari tindakan dokter. Karena itu resiko inilah kadangkala diartikan oleh pihak di luar profesi kedokteran atau pihak yang memiliki kepentingan lain sebagai malpraktek medik. Seringkali kita mendengar ataupun membaca media massa tentang kasus cacat sampai dengan kematian seseorang akibat dugaan malpraktek, sehingga pemberitaan tersebut akan menghantui para dokter dalam melaksanakan pengabdiannya dalam menolong penderita.
Meningkatnya kesadaran akan hak asasi manusia khususnya dalam bidang kesehatan serta semakin tingginya pengetahuan pasien terhadap berbagai masalah kesehatan menuntut dokter lebih memperhatikan keadaan pasien dalam mengobatinya. Peran dokter tetap dianggap lebih tinggi di mata masyarakat dan mendapat penghormatan yang lebih bila dibandingkan dengan profesi lainnya. Hal tersebut disebabkan kebutuhan pasien yang datang dalam keadaan sakit dan lemah sangat membutuhkan bantuan / pertolongan dengan percaya sepenuhnya kepada dokter yang menolongnya.
Karena itu dokter sebagai seseorang yang professional dibidangnya wajib menyarankan atau memberikan pemahaman mengenai resiko medik kepada pasiennya disamping membantu upaya pelayanan kesehatan yang lebih baik sehingga dokter akan lebih tenang dan maksimal dalam memberikan pelayanan kesehatan.






1

BAB II

Pengertian Malpraktek

Malpraktek berasal dari “malpractice” yang pada hakekatnya adalah kesalahan dalam menjalankan profesi yang timbul sebagai akibat adanya kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan oleh dokter, dalam arti lain malpraktek adalah kesalahan dalam menjalankan profesi medis yang tidak sesuai dengan standar profesi medis dalam menjalankan profesinya.(D. Veronica Komalawati. 2000). Namun kadang-kadang malpraktek dikaitkan dengan penyalahgunaan keadaan karena keinginan untuk mencari keuntungan pribadi semata. Tidak jarang pula dengan menggunakan alasan tidak adanya informed consent, pasien menggugat atau menuntut ganti rugi kepada dokter dengan tuduhan malpraktek.
Menurut John D. Blum, malpraktek diartikan sebagai bentuk kelalaian profesi dalam bentuk luka atau cacat yang dapat diukur yang terjadi pada pasien sehingga pasien mengajukan gugatan atau tuntutan ganti rugi sebagai akibat langsung dari tindakan dokter(Hermin Hadiati Koeswadji. 1998).


BAB III
Sebab Timbulnya Malpraktek

Pelayanan kesehatan pada dasarnya bertujuan untuk melaksanakan upaya pencegahan dan pengobatan suatu penyakit, termasuk di dalamya pelayanan medis yang didasarkan atas dasar hubungan individual antara dokter dengan pasien yang membutuhkan kesembuhan atas penyakit yang dideritanya. Dokter merupakan pihak yang mempunyai keahlian di bidang medis atau kedokteran yang dianggap memiliki kemampuan dan keahlian untuk melakukan tindakan medis.



2
Sedangkan pasien merupakan orang sakit yang awam akan penyakit yang dideritanya dan mempercayakan dirinya untuk diobati dan disembuhkan oleh dokter. Oleh karena itu dokter berkewajiban memberikan pelayanan medis yang sebaik-baiknya bagi pasien. Pelayanan medis ini dapat berupa penegakkan diagnosis dengan benar sesuai dengan prosedur, pemberian terapi, melakukan tindakan medis sesuai standar pelayanan medis serta memberikan tindakan wajar yang memang diperlukan untuk kesembuhan penyakit yang diderita pasien (M. Yusuf Hanafiah. 1999).
Dalam hubungan antara dokter dan pasien, masing-masing pihak mempunyai hak dan kewajiban. Dokter berkewajiban memberikan pelayanan medis mulai dari tanya jawab (anamnesa), kemudian dilakukan pemeriksaan fisik oleh dokter terhadap pasiennya. Dokter akan menentukan diagnosa penyakit yang diderita pasien. Setelah diagnosis ditegakkan barulah dokter memutuskan jenis terapi atau tindakan medis yang akan dilakukan kepada pasien (Hermin Hadiati Koeswadji. 1998).
Dalam bidang pengobatan, dokter dan pasien menyadari bahwa tidak mungkin dokter menjamin upaya pengobatan akan selalu berhasil sesuai dengan keinginan pasien atau keluarganya. Dokter hanya berupaya secara maksimal secara hati-hati dan cermat berdasarkan ilmu pengetahuan dan pengalamannya dalam menangani penyakit dalam rangka mengusahakan kesembuhan penyakit pasiennya.
Sedangkan, Pasien mempunyai kewajiban memeriksakan diri sedini mungkin tentang penyakit yang dideritanya dengan memberikan informasi yang benar dan lengkap berkaitan dengan penyakitnya. Pasien juga wajib mematuhi petunjuk dan nasehat yang dianjurkan dokter berkaitan dengan makan, minum maupun istirahat yang cukup. Selain itu pasien harus merasa yakin kalau dokter akan berupaya maksimal dalam mengobati penyakitnya sehingga pasien harus kooperatif dan tidak menolak apabila diperiksa dokter.





3
Dalam tindakannya, seorang dokter terkadang harus dengan sengaja menyakiti atau menimbulkan luka pada tubuh pasien. Misalnya dokter bedah yang melakukan pembedahan terhadap suatu organ tubuh pasien. Oleh karena itu dalam setiap pembedahan, dokter harus berhati-hati agar luka yang diakibatkannya tidak menimbulkan masalah dikemudian hari, seperti terjadinya infeksi nosokomial.
Selain itu juga sering terjadinya kealpaan / kelalaian yang merupakan bentuk kesalahan yang tidak berupa kesengajaan, akan tetapi juga bukan merupakan sesuatu yang terjadi karena kebetulan. Jadi dalam kelapaan ini tidak ada niat jahat dari pelaku / petindak. Kealpaan / kelalaian dan kesalahan dalam melaksanakan tindakan medis menyebabkan terjadinya ketidakpuasan pasien terhadap dokter dalam melaksanakan upaya pengobatan sesuai profesi kedokteran. Kealpaan dan kesalahan tersebut menyebabkan kerugian berada pada pihak pasien.

BAB IV
Kaitan dengan Hukum Pidana

Seiring dengan meningkatnya pengetahuan dan kesadaran hukum masyarakat, maka timbullah masalah tanggung jawab pidana seorang dokter terutama yang berkaitan dengan kelalaian. Tanggung jawab pidana ini timbul bila dapat dibuktikan dengan adanya kesalahan, misalnya kesalahan dalam diagnosa atau kesalahan cara-cara pengobatan atau perawatan.
Dari segi hukum kelalaian atau kesalahan akan terkait dengan sifat perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab. Seseorang dikatakan mampu bertanggung jawab apabila dapat menyadari makna yang sebenarnya dari perbuatannya. Dan suatu perbuatan dikategorikan sebagai “criminal malpractice” apabila memenuhi rumusan delik pidana yaitu perbuatan tersebut harus merupakan perbuatan tercela dan dilakukan sikap batin yang salah berupa kesengajaan, kecerobohan atau kealpaan(Safitri Hariyani. 2005).


4
Criminal malpractice yang berupa kesengajaan seperti melakukan aborsi tanpa adanya indikasi medik, tidak melakukan pertolongan terhadap seseorang yang dalam keadaanemergency, membuat visum et repertum yang tidak benar serta memberikan keterangan yang tidak benar pada sidang pengadilan dalam kapasitas sebagai ahli. Perihal malpraktek dalam hukum pidana ada beberapa pasal yang mengaturnya antara lain :
a. Pasal 359 KUHP yaitu karena kesalahannya menyebabkan orang mati.
b. Pasal 360 KUHP yaitu karena kesalahannya menyebabkan orang lain luka berat.
c. Pasal 361 KUHP yaitu karena kesalahannya melakukan suatu jabatan atau pekerjaannya hingga menyebabkan mati atau luka berat maka akan dihukum berat.
d. Pasal 299, 348, 349, 350 KUHP mengenai pengguguran kandungan tanpa indikasi medik.
Dalam ilmu hukum pidana, suatu perbuatan dikatakan sebagai perbuatan pidana apabila memenuhi semua unsur yang telah ditentukan dalam suatu aturan perundang-undangan pidana. Pasal 1 KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) menyatakan “tiada suatu perbuatan yang dapat dipidana, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu terjadi”.
Perbuatan pidana dapat bersifat kesengajaan maupun kealpaan, karena itu berdasarkan ilmu hukum pidana criminal malpractice apakah masuk delik kesengajaan atau kealpaan? Criminal malpractice bersifat delik kesengajaan apabila ada unsur dengan sengaja yaitu perbuatan pidana yang didasarkan pada sengaja untuk melakukan perbuatan pidana tersebut. Jadi perbuatan itu didasari sepenuhnya oleh pelaku perbuatan pidana (Kompas, 22 Oktober 2004).
Pada Criminal Malpractice, pembuktiannya didasarkan pada terpenuhinya semua unsur pidana. Pembuktianpun tunduk pada hukum acara pidana yang berlaku yaitu KUHAP. Dalam pasal 184 KUHAP disebutkan tentang alat-alat bukti yang dapat digunakan untuk membuktikan perbuatan pidana yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.


5
Perbuatan dikatakan terbukti sebagai perbuatan pidana apabila berdasarkan minimal dua alat bukti tersebut penyidik memperoleh keyakinan bahwa perbuatan tersebut merupakan perbuatan pidana.
Kealpaan atau kelalaian merupakan salah satu unsur dari Pasal 359 KUHP yang terdiri dari unsur kelalaian, wujud perbuatan tertentu, akibat kematian orang lain serta hubungan kausal antara wujud perbuatan dengan akibat kematian orang lain tersebut. Berdasarkan pengertian malpraktek, maka dapat dikatakan bahwa malpraktek terdiri dari unsur-unsur adanya unsur kesalahan / kelalaian dokter dalam menjalankan profesinya, adanya wujud perbuatan tertentu (mengobati / merawat pasien), adanya akibat luka berat atau matinya orang lain (pasien), adanya hubungan kausal bahwa luka berat atau kematian tersebut merupakan akibat dari perbuatan dokter yang mengobati pasien dengan tidak sesuai standar pelayanan medis.
Unsur-unsur tersebut memenuhi rumusan pasal 359 KUHP, bila pasien dan atau penyidik dapat membuktikan adanya keempat unsur tersebut maka pasal 359 KUHP dapat diterapkan kepada dokter yang melakukan malpraktek. Namun untuk menentukan suatu kelalaian yang dilakukan oleh seorang dokter bukanlah hal yang mudah karena banyak faktor yang mempengaruhi dan menjadi latar belakang terjadinya kasus tersebut.


BAB V
Penanganan Malpraktek

Sebagai profesi, sudah tentu dokter memiliki peraturan hukum yang dapat menjadi pedoman dalam menjalankan profesinya dan sedapat mungkin untuk menghindari pelanggaran etika kedokteran tersebut. Karena itu untuk penanganan bukti hukum tentang kesalahan atau kelalaian dokter dalam melaksanakan profesinya, banyak kendala yang dijumpai dalam pembuktian kesalahan atau kelalaian tersebut.



6
Menurut Reschemeyer, cirri dari profesi adalah menerapkan pengetahuan secara sistematis untuk memecahkan masalah serta relevan dengan nilai-nilai utama masyarakat (Reschemeyer, Hukum dan Profesi Hukum). Profesi dokter memiliki nilai dan pengakuan yang sangat tinggi dalam masyarakat karena pada saat orang mengalami sakit orang tersebut akan mencari dokter untuk mengobati penyakitnya.
Dalam menegakkan diagnosa, memberikan terapi sampai melakukan tindakan medik, dokter harus selalu berpedoman kepada prosedur yang telah ditetapkan oleh ikatan profesinya. Niat seorang dokter yakni untuk menolong pasiennya dan berupaya memberikan kesembuhan bagi pasien yang memohon bantuannya. Namun kadang-kadang hasil yang didapat justru sebaliknya dari niat tersebut. Pasien tidak mendapatkan kesembuhan, bahkan mendapat cacat atau yang lebih tragis lagi, kematian.
Bila hal itu terjadi dan dimuat di media massa maka biasanya orang beranggapan bahwa dokter tersebut telah melakukan malpraktek. Padahal, sebenarnya dokter juga manusia biasa yang bisa lupa, letih, mengalami stress, sakit, lalai atau berbuat salah. Dan keadaan ini sering dialami oleh dokter yang harus menangani banyak pasien.
Karena itu, kasus yang menyangkut dokter atau tenaga kesehatan seyogyanya tidak langsung diproses melalui jalur hukum tetapi terlebih dahulu melalui Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK) yang merupakan badan dalam struktur organisasi profesi Ikatan Dokter Indonesia (IDI). MKEK ini akan menentukan kasus yang terjadi merupakan pelanggaran etika atau pelanggaran hukum (H.M. Soedjatmiko. 2002).
Namun pada kenyataannya, sama halnya dengan profesi lainnya, karena MKEK keanggotaannya terdiri dari para dokter yang terikat pada sumpah jabatannya sehingga terdapat “kecenderungan” untuk bertindak sepihak dan membela teman sejawatnya. Akibatnya, pasien akan merasa tidak puas karena MKEK dianggap melindungi kepentingan dokter saja dan kurang memikirkan kepentingan pasien.





7
Itulah sebabnya, karena pasien tidak mendapat kepuasan, yang terjadi melaporkan kasus yang menimpanya melalui jalur hukum.

Referensi :
1. Anny Isfandyarie: Malpraktek dan Resiko Medik dalam Kajian Hukum Pidana,Prestasi Pustaka, Jakarta, 2005
2. D. Veronica Komalawati, Peranan Informed Consent Dalam Transaksi Terapeutik (Persetujuan Dalam Hubungan Dokter dan Pasien) Suatu Tinjauan Yuridis, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002.
3. Hermin Hadiati Koeswadji: Hukum Kedokteran (Studi tentang Hubungan Hukum dalam Mana Dokter Sebagai Salah Satu Pihak), Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998
4. H.M. Soedjatmiko: Masalah Hukum Medik Dalam Malpraktek Yuridik, Dalam Kumpulan Makalah Seminar tentang: “Etika dan Hukum Kedokteran” RSUD Dr. Saiful Anwar, Malang, 2002
5. Kompas, 22 Oktober 2004
6. M. Yusuf Hanafiah: Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1999
7. R. Sugandi: KUHP dengan Penjelasannya, Usaha Nasional, Surabaya, 1980.
8. Reschemeyer, Hukum dan Profesi Hukum.
Safitri Hariyani: Sengketa Medik, Alternatif Penyelesaian Perselisihan antara Dokter dengan Pasien, Diadit media, Jakarta, 2005














8







ANALISIS HUKUM


ANALISIS HUKUM DALAM
MERANCANG KONTRAK
Oleh:
Egawati Hardjono, SH
BAB I
PENDAHULUAN

Dalam dunia bisnis, kontrak sangat banyak dipergunakan orang bahkan hampir
semua kegiatan bisnis diawali oleh adanya kontrak meskipun kontrak dalam tampilan yang
sangat sederhana sekalipun.
Dalam tampilannya yang klasik untuk istilah kontrak ini sering disebut dengan istilah
“perjanjian” sebagai terjemahan dari “agreement”dalam bahasa Inggris.
Yang dimaksud dengan kontrak adalah suatu kesepakatan yang diperjanjikan
(promissory agreement) antara dua orang atau lebih yang dapat menimbulkan hubungan
hukum. Selanjutnya ada juga yang memberikan pengertian kepada kontrak sebagai suatu
perjanjian dimana hukum memberikan ganti rugi terhadap wanprestasi / kelalaian yang
dilakukan oleh salah satu pihak yang melanggar kesepakatan dari kontrak tersebut.
Agar kehidupan dalam masyarakat dapat berjalan dengan baik dan teratur maka
dibutuhkan adanya aturan mengenai etika hidup, kesopanan, kesusilaan dan peraturanperaturan yang mengatur hubungan antara orang yang satu dengan orang yang lain agar
kehidupan dalam masyarakat berjalan dengan tertib dan teratur.
Peraturan-peraturan tersebut harus dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib
yaitu pemerintah agar dapat berlaku umum untuk seluruh masyarakat. Agar peraturan


1



tersebut ditaati oleh seluruh anggota masyarakat maka dibutuhkan adanya sangsi yang
tegas yang dapat menindak setiap anggota masyarakat yang melanggar peraturan tersebut.
Adapun sangsi yang dijatuhkan bentuknya dapat bermacam-macam tergantung jenis
pelanggaran yang dilakukan oleh anggota masyarakat tersebut. Antara lain sangsi dapat
berupa hukuman badan (dihukum penjara), denda / ganti rugi, atau dapat juga dijatuhi
hukuman “peralihan resiko”.
Dalam kertas kerja ini yang akan dibahas lebih difokuskan kepada hubungan antar
manusia dalam pergaulan hidup di masyarakat yang berkaitan dengan bidang perikatan dan
perjanjian yang banyak ditemui dalam masyarakat, misalnya bagaimana membuat suatu
kontrak yang sah karena itu perlu mempelajari pengetahuan dasar mengenai hukum
perjanjian atau perikatan itu sendiri agar tidak melanggar hukum.
BAB II
SYARAT SAHNYA SUATU PERJANJIAN
Dalam kehidupan sehari-hari kita pasti bertemu dengan hukum beserta segala
aspeknya yang harus dipatuhi agar tidak terkena sangsinya atau akibatnya, karena kita
awam dalam hukum, misalnya kalau hendak membeli mobil atau motor dengan mencicil
(leasing), menyewa atau mengontrak rumah, melakukan perjanjian jual beli dan
sebagainya.
Dalam menyiapkan dan merancang suatu perjanjian tertulis atau kontrak, pertamatama diperlukan pengetahuan dasar tentang perjanjian atau kontrak itu sendiri agar
perjanjian yang dibuat tidak cacat hukum. Dengan sendirinya tahap awal yang harus
ditempuh adalah mempelajari hukum perjanjian atau perikatan, terutama yang berkaitan
dengan pembuatan suatu kontrak. Dalam merancang suatu kontrak jangan sampai terdapat
cacat hukum yang dapat mengakibatkan perjanjian dibatalkan atau batal demi hukum.
Persyaratan untuk sahnya suatu perjanjian harus memenuhi empat syarat yang
ditetapkan oleh Undang-Undang dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
yaitu:
1) Adanya kesepakatan dari pihak-pihak yang membuat perjanjian.
2) Adanya kemampuan dari para pihak yang membuat perjanjian.
3) Adanya objek atau hal tertentu.
4) Adanya sebab atau causa yang halal / legal.


2

Keempat syarat ini harus dipenuhi bagi setiap orang yang akan membuat perjanjian
agar perjanjian yang dibuatnya sah menurut hukum, bila keempat syarat ini sudah dipenuhi
maka sahlah perjanjian tersebut dan berlakulah Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata yaitu “setiap perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya”, jadi bila salah satu syarat dilanggar akan mengakibatkan
perjanjian dibatalkan atau dapat dimintakan pembatalannya di pengadilan atau batal demi
hukum.
Untuk lebih jelasnya akan diuraikan masing-masing syarat tersebut dengan akibat
hukumnya.
Syarat-1 : Adanya Kesepakatan, artinya pihak-pihak yang membuat perjanjian itu harus
memberikan persetujuan secara bebas, sadar dan bertanggung jawab, tidak ada
paksaan, tidak ada kehilafan dan tidak ada penipuan.
Menurut Pasal 1321 KUHPerdata: “kesepakatan itu sah apabila diberikan
tidak karena kehilafan atau tidak dengan paksaan ataupun tidak karena
penipuan”. Bila perjanjian yang dilakukan tidak sesuai dengan isi pasal 1321
KUHPerdata maka kesepakatan itu menjadi tidak sah dan perjanjian yang dibuat
menjadi perjanjian yang cacat dan perjanjian itu dapat dibatalkan atau
dimintakan pembatalannya kepada hakim melalui pengadilan.
Syarat-2 : Adanya Kecakapan, dari orang-orang yang membuat perjanjian.
Apakah yang dimaksudkan dengan kecakapan menurut Undang-Undang ?
Siapakah yang dimaksud dengan orang-orang yang cakap berbuat (bevoegd) ?
Menurut ketentuan yang berlaku, semua orang dianggap cakap / berwenang
untuk membuat perjanjian / kontrak kecuali mereka yang tergolong dalam:
1. Orang yang belum dewasa;
2. Orang yang ditempatkan di bawah pengampuan / curatele;
3. Wanita bersuami;
4. Orang yang dilarang oleh undang-undang untuk melakukan perbuatan
tertentu.
Menurut Pasal 1330 KUHPerdata: “orang yang tidak cakap untuk membuat suatu
perjanjian adalah orang-orang yang belum dewasa, mereka yang ditaruh di
bawah pengampuan, orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh
undang-undang, dan semua orang-orang yang telah dilarang oleh undang-undang
untuk membuat perjanjian-perjanjian tertentu”.

3



Seorang yang cakap menurut hukum adalah orang yang sudah dewasa, yaitu
sudah berumur 21 tahun. (Pasal 330 KUH Perdata)
Siapakah yang dimaksud dengan orang yang ditaruh di bawah pengampuan ?
Menurut Pasal 433 KUHPerdata, orang yang ditaruh di bawah pengampuan
adalah :
1. Orang yang dungu.
2. Orang gila (tidak waras pikiran).
3. Orang yang mata gelap.
4. Orang yang boros.
Mengenai orang perempuan yang dinyatakan tidak cakap adalah wanita yang
bersuami, menurut Pasal 1330 ayat 3 KUHPerdata, rational dari ketentuan ini
adalah agar dalam satu rumah tangga jangan ada dua nahkoda tetapi dengan
berkembangnya emansipasi wanita maka ketidakcakapan isteri hanya dalam
bidang hukum kekayaan saja dan tidak dalam bidang-bidang lainnya.
Mengenai orang-orang yang dilarang oleh UU melakukan perjanjian adalah :
antara suami isteri tidak boleh melakukan kontrak jual beli, hakim, jaksa,
pengacara, jurusita dan notaris tidak boleh menerima penyerahan untuk menjadi
pemilik bagi dirinya sendiri untuk tuntutan yang menjadi pokok perkara.
Pegawai dalam jabatan umum dilarang membeli untuk dirinya sendiri barangbarang yang dijual di hadapan mereka. Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat
mengakibatkan perjanjian dibatalkan atau dapat dimintakan pembatalannya oleh
salah satu pihak yang dirugikan.
Syarat pertama (1) dan kedua (2) disebut syarat subjektif dimana menurut pasal
1454 KUH Perdata, tenggang waktu permintaan pembatalan perjanjian ini
dibatasi hingga 5 (lima) tahun.
Syarat-3 : Adanya Objek / Perihal Tertentu.
Suatu kontrak haruslah mempunyai objek tertentu. Beberapa persyaratan yang
ditentukan oleh undang-undang terhadap objek tertentu dari suatu perjanjian :
1. Barang yang merupakan objek perjanjian / kontrak, haruslah barang yang
dapat diperdagangkan.
2. Pada saat perjanjian / kontrak dibuat, minimal barang tersebut sudah dapat
ditentukan jenisnya.

4


3. Jumlah barang tersebut boleh tidak tertentu, asal saja jumlah tersebut
kemudian dapat ditentukan atau dihitung, misalnya hasil panen padi suatu
sawah di musim panen pada tahun mendatang. Menurut undang-undang hal
ini tidak menjadi halangan, asalkan jumlah barang itu kemudian ditentukan
atau dihitung (pasal 1333 ayat 2 KUH Perdata).
4. Tetapi tidak dapat dibuat kontrak terhadap barang yang masih ada dalam
warisan yang belum terbuka (pasal 1334 ayat 2 KUH Perdata). Syarat ketiga
(3) ini bila dilanggar maka perjanjian batal demi hukum.
Syarat-4 : Suatu Sebab Yang Halal Atau Legal.
Dari persyaratan tersebut dikatakan bahwa isi suatu perjanjian harus memuat
suatu kausa yang diperbolehkan oleh undang-undang dan tidak bertentangan
dengan ketertiban umum dan atau kesusilaan, misalnya suatu perjanjian untuk
melakukan kejahatan atau mencemarkan nama baik seseorang, itu melanggar
syarat “sebab yang legal” atau syarat keempat (4). Bila syarat keempat (4) ini
dilanggar maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Syarat ketiga (3) dan
keempat (4) ini disebut syarat objektif, karena syarat ini terletak pada objek atau
isi perjanjian. Jika syarat ketiga (3) dan keempat (4) ini tidak dipenuhi maka
perjanjian batal demi hukum.
BAB III
MERANCANG SUATU KONTRAK
Setelah membahas mengenai syarat-syarat agar suatu perjanjian / kontrak itu sah
menurut hukum maka perlu kita ketahui bahwa kontrak itu adalah perjanjian tertulis
bahkan lebih menjurus pada pembuatan akta. Untuk lebih jelas perlu diketahui apa yang
dimaksud dengan kontrak dan akta.
Kontrak adalah suatu perjanjian antara dua orang atau lebih yang menciptakan
kewajiban untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu hal yang khusus.
Akta adalah suatu perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh seseorang atau oleh
pihak-pihak dengan maksud dapat dipergunakan sebagai alat bukti dalam proses hukum.
Surat-surat akta dapat dibedakan antara surat akta resmi atau otentik dengan surat akta
dibawah tangan atau onderhands

5


Suatu akta otentik adalah akta yang bentuknya ditentukan oleh undang-undang dan
dibuat di hadapan pejabat yang berwenang untuk itu.
Keistimewaan dari akta otentik ini adalah merupakan alat pembuktian yang
sempurna terutama mengenai waktu, tanggal pembuatan, isi perjanjian, penandatangannan, tempat pembuatan dan dasar hukumnya.
Kalau kebenarannya dibantah, si penyangkal harus membuktikan ketidakbenaran-nya
dan bila diajukan sebagai alat bukti kepada hakim maka hakim harus menerimanya.
Sedangkan akta dibawah tangan adalah akta yang dibuat tidak oleh seorang pejabat
umum melainkan dibuat dan ditandatangani sendiri oleh para pihak yang membuat
perjanjian tersebut dan tidak terikat bentuk formal / bebas.
Dalam hal bila para pihak yang membuat perjanjian tersebut mengakui dan tidak
menyangkal tanda-tangannya maka akta dibawah tangan tersebut mempunyai kekuatan
pembuktian yang sama dengan suatu akta otentik.
Tetapi bila kebenarannya disangkal maka pihak yang mengajukannya sebagai bukti,
harus membuktikan kebenarannya melalui bukti-bukti atau saksi-saksi.
Fungsi Akta
Akta mempunyai dua fungsi yaitu:
1) Formalitas Causa : adalah untuk memenuhi syarat formal agar suatu perbuatan hukum
sempurna yaitu :
a) Harus tertulis berupa akta dibawah tangan atau
b) Harus dengan akta otentik.
2) Probationes Causa : adalah sebagai alat bukti karena memang sejak awal dimaksudkan untuk dijadikan alat bukti (probationes).
Dalam pembuatan suatu akta; akta perjanjian; akta otentik; akta dibawah tangan dan aktaakta lainnya, secara garis besar dapat dipilah menjadi bagian-bagian tertentu yaitu:
1) JUDUL (HEADING)
2) PEMBUKAAN
3) KOMPARISI PARA PIHAK
4) PREMISE (RECITALS)
5) DASAR/PERTIMBANGAN
6) ISI PERJANJIAN
7) KETENTUAN DAN PERSYARATAN
8) PENUTUP (CLOSURE)


6

9) TANDA TANGAN
10) SAKSI-SAKSI
11) LAMPIRAN
Contoh :
– Judul
SEWA-MENYEWA RUMAH
– Pembukaan
Pada hari ini, Jumat, tanggal 22 September 2000 di Jakarta, yang bertandatangan di
bawah ini:
– Komparisi
1. Tuan X, swasta, bertempat tinggal di Jakarta Pusat, Jl. Primadona No. 30,
selanjutnya disebut sebagai Pihak Pertama atau Penjual.
2. Tuan Y, swasta, bertempat tinggal di Jakarta Selatan, Jl. Panjalu No. 26, selanjutnya
disebut sebagai Pihak Kedua atau Pembeli.
– Premise
Para pihak terlebih dahulu menerangkan sebagai berikut :
ª Bahwa Pihak Pertama adalah pemilik tanah beserta rumah di alamat Jl. Primadona
No. 30, berdasarkan sertifikat hak milik nomor …...
ª Bahwa Pihak Pertama hendak menyewakan rumah tersebut kepada Pihak Kedua
ª Bahwa …... dst.
– Isi Perjanjian
Mencakup ketentuan dan persyaratan.
Para pihak mencantumkan segala hal atau pokok-pokok yang dianggap perlu yang
memuat secara mendetail mengenai objek perjanjian, hak dan kewajiban serta uraian
secara lengkap mengenai prestasi.
– Penutup
Setiap perjanjian tertulis selalu ditutup dengan kata:
“Demikian perjanjian ini dibuat dalam dua rangkap bermeterai cukup, satu rangkap
untuk Pihak Pertama dan satu rangkap lagi untuk Pihak Kedua yang masing-masing

7

mempunyai kekuatan hukum yang sama serta ditandatangani oleh kedua belah pihak
dengan disaksikan oleh dua orang saksi”.
– Tanda Tangan
Terdiri dari tanda tangan para pihak atau yang mewakili dan tanda tangan para saksi.
Apabila yang menjadi pihak dalam perjanjian adalah bukan perorangan melainkan
Badan Hukum maka di bawah tanda tangan juga disebutkan nama dan jabatannya dan
dilengkapi dengan cap perusahaan di sebelah tanda tangan.
– Lampiran
Tidak jarang surat perjanjian disertai dengan lampiran apabila terdapat hal-hal yang
perlu disertakan atau dilekatkan pada perjanjian induk seperti surat kuasa, perincian
harga atau macam-macam barang dengan tipenya, pelaksanaan pekerjaan atau jenisjenisnya, bentuk laporan dan sebagainya.
Lampiran merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian pokok atau induk.
BAB IV
ANALISIS
Setiap perjanjian yang dibuat antara dua orang atau lebih atau antara dua perusahaan
harus dibuat sesuai ketentuan yang berlaku yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata Pasal 1320, yaitu harus ada :
a) Kesepakatan.
b) Kemampuan.
c) Objek Tertentu.
d) Sebab yang halal.
Keempat syarat ini mutlak harus dilaksanakan sebab bila salah satu syarat tidak
dipenuhi maka akibat hukumnya dapat minta dibatalkan dengan keputusan hakim di
pengadilan, untuk syarat a) dan b). Bila syarat c) dan d) yang dilanggar maka akibat
hukumnya adalah batal demi hukum.
Bila semua syarat yang tercantum dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata ini dilaksanakan dengan baik maka menurut Pasal 1338 Kitab Undang-Undang

8

Hukum Perdata: bahwa setiap perjanjian yang dibuat secara sah (sah sesuai Pasal 1320
KUHPerdata) berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang mem-buatnya.
Jadi berdasarkan ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata ini yang menyatakan “berlaku
sebagai undang-undang” sehingga mengikat para pihak yang membuat perjanjian ini dan
bila salah satu pihak melanggar sesuai dengan yang telah disepakati maka akan dikenakan
sangsi yang tegas yaitu berupa hukuman. Hal ini penting agar tidak terjadi kekacauan
dalam masyarakat terutama dalam bidang perekonomian.
Dalam membuat perikatan / kontrak baik berupa akta otentik maupun akta dibawah
tangan, para pihak harus memenuhi persyaratan yang telah ditentukan oleh Pasal 1320
KUHPerdata agar perikatan atau kontrak yang dibuatnya tidak cacat hukum sehingga dapat
dibatalkan atau batal demi hukum.
BAB V
PENUTUP
Perjanjian yang telah diuraikan dalam makalah ini adalah perjanjian yang terjadi
dalam masyarakat yang timbul karena adanya kesepakatan antara kedua belah pihak
sehingga terjadi perikatan. Jadi perikatan ini terjadi karena dikehendaki oleh kedua belah
pihak secara sukarela.
Ada juga perikatan yang lahir dari undang-undang, yaitu perikatan yang terjadi
karena suatu peritiwa tertentu sehingga melahirkan hubungan hukum yang menimbul-kan
hak dan kewajiban di antara para pihak yang bersangkutan, jadi bukan berasal dari
kehendak para pihak melainkan telah ditentukan oleh undang-undang.
Contoh, dengan kelahiran anak dalam perkawinan, lahirlah perikatan antara si ayah
dan si anak yang sebelumnya telah ditentukan oleh undang-undang yaitu:
Pasal 298 KUHPerdata Æ si bapak dan si ibu, keduanya wajib memelihara dan mendidik
sekalian anak mereka yang belum dewasa.
Pasal 321 KUHPerdata Æ dan tiap-tiap anak wajib memberi nafkah kepada kedua orang
tuanya dan para keluarga sedarahnya dalam garis ke atas apabila mereka dalam keadaan
miskin.
Jadi berdasarkan uraian di atas, perikatan atau kontrak yang akan dibuat harus
berlandaskan hukum yang berlaku


9

DAFTAR PUSTAKA
Badrulzaman, Mariam Darus 1996, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Buku III
Tentang Hukum Perikatan Dengan Penjelasannya, Cetakan II Bandung, Penerbit Alumni.
Gautama, Sudargo 1990, Contoh-Contoh Kontrak, Rekes Dan Surat Resmi Sehari-hari,
Bandung, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti.
Rai Widjaya, I. G, 2003, Merancang Suatu Kontrak (Contract Drafting), Edisi Revisi,
Penerbit Kesaint Blanc.
Subekti, 1996, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cetakan XXVIII Jakarta, Penerbit PT
Intermasa.
Subekti, 1995, Aneka Perjanjian, Cetakan Kesepuluh Bandung, Penerbit PT Citra Aditya
Bakti.
Subekti, 1987, Hukum Perjanjian, Cetakan Keempat belas, Bandung, Penerbit PT
Intermasa.
Munir Fuady, 2001, Hukum Kontrak, Bandung, Penerbit PT Citra Aditya Bakti.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, 1989, Cetakan Keduapuluh satu, Jakarta, Pt
Pradnya Paramita
C.S.T.Kansil, 1994, Hukum Perusahaan Indonesia, Cetakan Pertama, Jakarta, PT Pradnya
Paramita.



10




© 2005 Egawati Hardjono, SH Posted 19 May, 2005
Makalah individu
Filsafat Sains, t.a. 2004/2005
Program MM, Pasca Sarjana
Universitas Kristen Krida Wacana, Jakarta
Dosen: Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...